Profil Hajah Amina Adil (w.2004)
Hajah Amina Adil adalah seorang penulis terkenal, guru dan juga penasihat spiritual yang lebih dari 40 tahun telah mempersembahkan hidupnya untuk menolong orang dari berbagai kalangan agar lebih mengenal Islam. Beliau juga mempunyai peranan penting dalam menolong kaum wanita Muslim untuk memahami dan menerapkan berbagai hak yang telah ditetapkan oleh Allah (swt) bagi para wanita sesuai dengan agama Islam.
Menjalani pernikahannya selama 50 tahun dengan Syekh Nazhim Adil al-Haqqani (q), Mursyid Tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani, Hajah Amina telah menjelajahi dunia. Sebagai seorang cendikiawan di bidang Syariah dan juga seorang Syaikha, beliau mempunyai ribuan murid di seluruh penjuru Amerika Utara dan Selatan, Eropa, Timur Jauh dan Timur Tengah, Asia Tenggara dan Asia Tengah serta Afrika. Beliau berguru pada banyak cendikiawan di Timur Tengah dan Turki, termasuk Grandsyekh Abdullah ad-Daghestani an-Naqsybandi (q). Hajjah Amina berasal dari keluarga Nabi Muhammad (s).
Beliau dilahirkan di Provinsi Kazan, Rusia di masa awal pemerintahan komunis, yang memerintahkan pembersihan etnis Yahudi, Kristen dan Muslim. Banyak tetangganya yang hilang secara misterius dan jutaan lainnya diasingkan ke kamp di Siberia, di mana banyak yang mati kedinginan atau kelaparan. Ketika usianya masih kanak-kanak dan baru belajar berjalan, keluarganya melarikan diri demi keselamatan mereka dengan berjalan kaki di kegelapan malam dalam suatu perjalanan yang membahayakan. Mereka menempuhnya hanya dengan pakaian yang melekat di pundak mereka.
Hajah Amina masih terlalu muda untuk mengingat perjalanan panjang yang akhirnya membawa mereka ke Turki. Anggota keluarganyalah yang menceritakan tentang keberanian orang tua mereka, dan keimanan mereka yang dalam, jiwa petualangan yang tampak pada Amina muda, dan musim gugur yang secara tragis mengancam jiwanya dan membuatnya koma hingga mereka takut kalau beliau tidak akan sehat kembali.
Setelah lebih dari setahun dalam pengejaran para pejabat komunis yang mematikan, secara ajaib keluarganya menempuh jalan mereka ke Arzurum di wilayah timur laut Turki. Jadi, pada usia yang masih muda, Hajah Amina telah dianugerahi derajat yang tinggi sebagai ‘muhajirah,’ yang artinya orang yang telah berhijrah dari tirani dan kaum yang zalim ke sebuah tempat di mana mereka dapat menjalankan agama mereka secara terbuka. Untuk itu dikatakan bahwa ada sebuah pahala yang khusus di sisi Allah (swt).
Pengalaman di masa muda ini tampaknya membentuk kecintaan Hajah Amina akan keluarga, masyarakat dan perjalanan, sikap tegasnya terhadap keadilan, dan kecintaannya terhadap Islam. Namun demikian, setelah 12 tahun di Turki, ayah Hajah Amina mempunyai visi spiritual bahwa beliau telah diperintahkan untuk memindahkan keluarganya ke Syam (Damaskus), yang merupakan tujuan pertama mereka ketika pergi dari Rusia.
Di Damaskus mereka menemukan kehidupan yang mereka cari selama ini. Mereka tinggal di Jabal Qasiyun, sebuah pegunungan tinggi di mana seluruh kota dapat terlihat. Di sinilah keluarganya bertemu dengan Grandsyekh Abdullah al-Fa’iz ad-Daghestani (q) dari Mata Rantai Emas Tarekat Naqsybandi, yang kemudian memelihara dan mengawasi secara khusus perkembangan spiritual dan keagamaan Hajah Amina. Melalui Grandsyekh Abdullah (q), beliau belajar Tasawwuf (Sufisme—Spiritualitas dalam Islam), sementara Fiqh (Jurisprudensi Islam) dipelajari lewat cendikiawan ternama, seperti: Syekh Salis Farfour dari Suriah, Syekh Mukhtar Alaily, dan kemudian Sekjen Urusan Keagamaan di Lebanon.
Guru dan mentor Hajah Amina selalu kagum akan ketajamannya. Di usianya yang masih muda, beliau juga mempunyai daya ingat yang tinggi dan kemampuan untuk memahami dan menjelaskan masalah-masalah kompleks dengan kerangka hukum Islam.
Atas nasihat Grandsyekh Abdullah (q), pada usia 23 tahun beliau bertunangan dengan Syekh Nazhim (q) muda, dan sebulan kemudian mereka menikah dan hidup bersamanya selama hampir 50 tahun. Pada kenyataannya, Syekh Nazhim (q) sering menyatakan bahwa istrinya nampak baginya seperti ketika baru pertama kali menikah. Mereka telah hidup bersama dan membesarkan keempat anak mereka (Haji Muhammad Adil, Hajah Nazihe Adil, Bahauddin Adil dan Hajah Ruqayyah Adil—penerj) di antara Suriah, Turki dan Siprus, dan saat ini mereka telah diberkati dengan 16 cucu dan 6 cicit.
Sebagai seorang ibu muda dan istri dari seorang Syekh yang sedang dalam masa pelatihan, Hajah Amina sering ditinggal sendiri untuk menghadapi tantangan menjalankan keluarga ketika suaminya sedang berkhalwat atau menempuh perjalanan selama berbulan-bulan, mengunjungi berbagai daerah untuk berdakwah menyebarkan kalimat tauhid. Hal ini, ditambah dengan pengalaman di masa mudanya, hanya menambah keteguhan Iman dan Keyakinannya terhadap Tuhan Yang Mahakuasa. Hajah Amina telah 3 kali melakukan ibadah haji mengunjungi Mekah.
Beliau dikenal dengan kearifannya, mempunyai pendekatan praktis terhadap kehidupan dan kemampuannya dalam memecahkan masalah. Selama bertahun-tahun beliau telah menjadi panasihat utama bagi kaum wanita dalam berbagai masalah. Selain fasih berbicara dalam bahasa Turki dan Arab, beliau pandai pula berbahasa Inggris. Beliau sangat dicintai oleh berbagai kalangan, termasuk kepala-kepala negara, menteri-menteri, dan juga para selebritis.
Hajah Amina terakhir tinggal di Siprus di sebuah rumah pertanian yang tua dan nyaman, dengan halaman yang luas, di mana beliau menerima ribuan pengunjung dari seluruh dunia pada setiap tahunnya. Adakalanya beliau masih menemani Syekh Nazhim (q) dalam kunjungan resminya ke negara lain. Beliau juga telah menjadi pembicara utama pada berbagai konferensi mengenai Islam dan Wanita Muslim. Karyanya yang lain termasuk serial buku Lore of Light sebanyak 3 volume, yang merupakan narasi aslinya mengenai kisah para Nabi dan keajaiban para Awliya.
Selasa, 16 November 2004, pukul 5.45 WIB bertepatan dengan tanggal 3 Syawal 1425H Hajah Amina berpulang ke Hadirat Ilahi. Mawlana Syekh Hisyam Kabbani (q) yang merupakan menantunya mengatakan bahwa sehari sebelumnya, Hajah Amina berbicara dengan Hajah Nazihe—putri beliau dan istri Syekh Hisyam (q). Saat itu Hajah Amina dalam kondisi sehat wal afiat dan amat bahagia dengan mimpi yang baru dialaminya. Hajah Amina menceritakan mimpinya itu kepada suaminya, Mawlana Syekh Nazhim (q), dan kemudian menceritakan mimpi itu kepada Syekh Hisyam (q) dan Hajah Nazihe. Dalam mimpinya, Hajah Amina bertemu dengan Nabi (s) yang menghampirinya dan disertai semua Nabi dan Awliya. Hajah Amina bertanya kepada mereka semua, apakah beliau boleh difoto bersama mereka, tetapi orang-orang tulus dan saleh di sekeliling Hajah Amina itu berkata, “Ibu tidak bisa mengambil foto bersama kami—hanya dengan Baginda Rasulullah (s) saja.” Maka berfotolah beliau dengan Nabi (s) dalam mimpi itu. Dan rupanya itu adalah pertanda bahwa Hajah Amina akan segera wafat. Hajah Amina mengalami mimpi itu hari Senin malam, di mana beliau merasa dalam kondisi sehat, tetapi pagi harinya, beliau merasakan jantungnya sakit dan tak lama kemudian wafat pada hari Selasa pagi hari ini.
Semoga Allah (swt) memberkati Hajah Amina dan memberinya kedamaian.
Allahumma salli `alaa Sayyidina Muhammadin `abdika wa nabiyyika wa rasoolika an-nabiyy al-ummiyy wa `alaa aalihi wa sahbihi wa sallim tasleeman bi qadari `azhamati dhaatika fee kulli waqtin wa heen. (Send thawab on Hajjah Amina's soul.)
IN LOVING MEMORY
HAJJAH AMINA ADIL 1931-2004
Whose servitude of The One was never short.
Whose reflection is the Sunnah of Prophet (s).
Whose love of justice was foremost.
Whose trustworthiness was uncompromised.
Whose tongue never strayed from Haqq.
Whose fingers wore impressions of the misbaha.
Whose heart engaged continuously in Praising and Thanks.
Whose countenance glowed from her eternal faith.
Whose advice was always straight.
Whose light embraced us with forgiveness.
Whose eyes sparkled with kindness, understanding and intellect.
Whose embrace was unmitigated safety.
Whose du'a was always answered.
Whose prayer was never absent.
Whose knowledge of din al-Islam was a flowing vessel.
Whose words were divine arrows directed to our hearts.
Whose instruction became a living part of us.
Whose generosity knew no limits.
Whose marriage was the highest example of piety.
Whose modesty was beyond question.
Whose loyalty was unyielding.
Whose patience was legendary.
Whose physical strength put us to shame.
Whose stand against baatil never wavered.
Whose courage carried great trials without complaint.
Whose abstinence lifted her to the Ultimate Station.
Whose sacrifices fed the hearts of Allah's weakest servants.
Whose place in Heaven is forever heralded.
We miss you so much, Hajjah Anne!
La ilaha illa-Llah Muhammadur Rasulullah (s)!
______
Courtesy of Sufilive.com
©2004 ©2014 by Fatima A Gilani
0 Response to "Profil Hajah Amina Adil (w.2004)"
Post a Comment